Hidup seperti air mengalir saja

Spread the love

“ It’s not the strongest of the species that survives, nor the most intelligent, but the one most responsive to change.” Charles Darwin

Ibu saya

Lahir sebagai bayi premature dengan berat hanya sekitar 1 kg, setelah 7 bulan kehamilan ibu saya yang sedang sakit yang sangat berbahaya pada saat itu, yaitu penyakit TBC. Persalinan hanya dibantu oleh bidan dan dilakukan di rumah, di kampung kami tidak ada rumah sakit. Pada saat itu, kebanyakan handai taulan sangat pesimis mengenai kemungkinan saya akan bertahan hidup. Kelahiran saya menjadi suatu kebahagian tersendiri bagi keluarga, pertama kelahiran seorang anak laki-laki bagi keluarga Batak adalah merupakan cita-cita setiap keluarga Batak untuk meneruskan family tree keluarga. Saya anak ke dua di keluarga, kakak saya perempuan. Terutama bagi ibu saya, kelahiran saya adalah merupakan suatu anugrah yang sangat besar, karena merupakan suatu bukti bahwa ibu saya, walaupun sakit, masih bisa memberikan keturunan bagi keluarga. Sebelum saya lahir, karena beliau sakit, kakak saya nyaris tidak bisa mendapatkan ASI, banyak yang menyarankan ayah saya untuk menikah lagi agar bisa mendapatkan keturunan, terutama laki-laki. Kakek dan ayah saya adalah anak tunggal laki-laki, jadi keluarga kami dari jalur ayah sangat sedikit. Sayapun diberikan nama Elisa Harry Mangapul, Elisa diambil dari nama nabi di alkitab, ibu saya berharap agar saya menjadi seorang pendeta kelak, Harry, dalam Bahasa Inggris artinya cepat, Mangapul, dalam Bahasa Batak, artinya menghibur. Jadi Elisa cepat menghibur. Itulah doa mereka. Dan betul, ibu saya semakin sehat, bahkan melahirkan 9 orang anak.

Sewaktu balita, saya berkembang dengan penyakit asma, sampai umur 5 tahun, tapi setelah itu sembuh. Masuk sekolah SD di Siborongborong, di sekolah dimana ibu saya mengajar. Melanjut ke SMP di luar kota, karena ayah saya tidak mau saya masuk SMP di Siborongborong dimana beliau mengajar. Jadi saya sekolah ke SMP Katolik St Yosef di Lintongnihuta dan tinggal di asrama (boarding house). Jauh dari keluarga dalam usia sangat dini, membuat saya dalam usia dini harus madiri. Di sisi lain, saya sangat beruntung dapat pendidikan di sekolah ini dan tinggal di asrama, sekolah dan asrama sangat ketat dalam menerapkan disiplin, saya sepenuhnya bisa belajar dengan baik dan bergaul dengan banyak anak-anak dengan latar belakang yang sangat berbeda, bahkan ada yang datang dari Pulau Jawa. Sekolah juga menyediakan banyak kegiatan extra kurikuler, seperti olah raga dan kesenian. Seandainya saya sekolah di kampung saya, maka selain sekolah, saya harus mengerjakan banyak hal, seperti bertani dan beternak.

SMP St Yosef Lintongnihuta

Seusai SMP di Lintongnihuta, sebenarnya ingin  masuk sekolah teknik menengah (STM, sekarang SMK). Menyadari keluarganya kurang berada, ia ingin segera bekerja untuk membantu keuangan keluarga. Dalam bayangannya, setelah lulus STM. Ia membuka tempat servis benda elektronik. ”Di kampung kami saat itu, mereka yang punya kemampuan reparasi elektronik masih langka. Kalau saya bisa membuka bengkel reparasi, lumayan untuk cari nafkah,” kata Elisa. Dan keinginan ibu saya agar saya menjadi pendeta juga sirna, karena pada saat itu, saya mulai mengamati, bahwa menjadi pendeta, hanyalah salah satu profesi, sementara keinginan ibu saya lebih pada perilaku “pendeta”. Jadi apapun profesi kita, bisa menjadi pendeta dalam hidup kita.

Saya menyampaikan niat saya untuk melanjut ke STM, dan ada STM Katolik di Pematang Siantar. Tapi suratan nasib menjauhkan dari mimpi itu, bahkan menariknya ke Pulau Jawa. Setelah lulus SMP, akhirnya melanjut ke SMA di Siborongborong,  alasannya adalah agar saya bisa mengurus nenek dan kakek yang sudah tua dan tinggal berdua saja di rumahnya.

Orangtua saya dan Kakek-Nenek saya dari ibu

Alkisah, neneknya sakit dan harus dibawa ke Bogor untuk menjalani perawatan di rumah sakit dan di Siborongborong tidak ada rumah sakit. Seorang paman meminta saya ikut menemani nenek ke Bogor. Saat itu butuh orang yang bisa mendampingi dan menjadi penerjemah. Maklum nenek saya hanya bisa berbahasa Batak. Saya pun ikut pindah ke Bogor. 

Inilah pengalaman pertama saya dengan sesuatu yang kini biasa disebut sebagai adaptasi. Ia harus menyesuaikan diri dengan sesuatu yang baru, bahkan bukan sesuatu yang dicita-citakan. 

Jadi awalnya ini soal tidak punya pilihan. Di keluarga ditanamkan ajaran untuk selalu patuh pada orangtua. Jadi ada punya mindset bahwa kita tidak punya pilihan selain mematuhi orangtua dan ada doktrin kuat, juga merupakan ajaran agama yang saya percayai, bahwa membandel pada orang tua adalah dosa besar. Kita dididik untuk, kalau kata orang Jawa, nrimo. Ya, lingkungan dulu seperti itu. berbeda dengan sekarang yang jauh lebih bebas untuk menentukan pilihan.

Ketika masuk SMP,  misalnya. Ayah bilang saya harus sekolah di luar Siborong-borong. Makanya saya dimasukkan  ke sebuah sekolah yang berjarak 20-an kilometer dari rumah. Saya harus tinggal di asrama, terpisah dari keluarga. Untuk ukuran sekarang, jarak tersebut dekat saja. Tapi pada masa itu kendaraan umum yang melayani hanya satu kali seminggu. Susah untuk pulang. Jadi, saya pulang sebulan sekali.

Situasi kurang ideal berlanjut, bahkan lebih pahit saat di SMA. Elisa harus masuk SMA yang kurang bagus di Bogor, karena pindah ke Bogor bukan di awal tahun ajaran. Para guru jarang masuk, banyak siswa yang nakal, bahkan pencandu narkoba — saat itu, biasa dikenal dengan kaum morfinis. Belum pernah ada siswa dari SMA tersebut yang diterima di perguruan tinggi negeri. Tapi segera muncul kesadaran untuk tidak larut dalam keadaan buruk tersebut. saya memutuskan untuk belajar sendiri dengan keras. Dalam perjalanannya, ia dan teman-teman membentuk kelompok belajar. Di kelompok itu, saya mengajar teman-teman yang lain. Perlahan saya juga mulai menyadari, cara belajar paling efektif adalah dengan mempersiapkan diri menjadi pengajar. Selama belajar di sekolah ini, saya dapat bea siswa dari Yayasan Sekolah, jadi saya tidak perlu bayar uang sekolah, dan masih ada uang buku. Kami juga dengan inisiatif sendiri mengikuti kompetisi acara “Cepat Tepat” di TVRI, acara yang pasti ditonton banyak pelajar SLTA, karena saat itu, hanya TVRI setasiun televisi di Indonesia. Kami sempat muncul di program itu 4 kali hingga ke final. Sayangnya kami kalah di final, saya sebagai juru bicaranya. Namun keberhasilan kami sampai ke babak final, sudah sedikit merubah persepsi masyarakat tentang sekolah kami.

SMA Kristen Satu Bakti Bogor

Saya berpendirian, dalam posisi apa pun, di lingkungan sekolah, kehidupan sosial, atau keluarga, seharusnya kita sadar bahwa adalah berlebihan untuk menuntut  lingkungan agar memahami dan menyesuaikan dengan kita. Menurut saya, hal yang lebih realistis adalah bagaimana kita mampu beradaptasi dengan lingkungan, sambil berusaha mempengaruhi dan mengubah lingkungan ke arah yang diinginkan. Karena pada hakekatnya cuma diri kita yang bisa kita control. Dalam kasus SMA, saya memilih untuk belajar mandiri ketimbang berharap pada lingkungan (baca: para guru yang jarang masuk dan teman sekolah yang nakal).

Mantan CEO General Electric, Jack Welch, pernah mengatakan  “ Look at the world “as it is,” not as you might “wish to be.”

Saya mengambil perumpamaan dari air yang mengalir. Air selalu mencari tempat yang lebih rendah dan tanpa hambatan supaya dapat tetap mengalir. Perlahan, aliran air membesar, hingga membentuk sungai. Air berkumpul dari berbagai sumber ke tempat yang lebih rendah dan bertemu di muara. Dalam perjalanannya, bisa saja air dihambat oleh tanah atau batu. Namun, lama-kelamaan, bentuk tanah atau batu itu pun niscaya berubah lantaran dikikis  aliran air. Demikianlah manusia beradaptasi dan mempengaruhi lingkungan.

Ya, kisah hidup saya diwarnai tikungan-tikungan tak terduga. Saya beberapa kali diberikan pilihan-pilihan hidup yang berubah dengan cepat dan spontan. Tetapi beruntung  pilihan itu tak pernah menjerumuskan. Kejelian dan kepekaan melihat perubahan menjadi kunci. Bukan spontan tanpa pertimbangan, tetapi bagi saya lebih kepada kemampuan beradaptasi.

Setelah lulus SMA, kendati tiket masuk Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) sudah di genggaman, saya malah bersikeras ingin masuk ITB. Para kerabat pun sempat jengkel melihat keengganan saya memilih STAN. Dengan masuk STAN, tak usah mengeluarkan biaya dan setelah lulus sudah pasti langsung bekerja. Wajar mereka jengkel. Saya sudah diterima di STAN, sedangkan hasil ujian masuk ITB belum diumumkan.

Jadi, pada 1979,  saya mendaftar ke ITB. Semula saya mengincar jurusan Teknik Sipil. Alasannya sederhana; pembangunan sedang gencar di Indonesia dan otomatis peluang kerja terbuka lebar. Namun pada hari pendaftaran, radar kejelian saya kembali bekerja. Saya sedikit cemas melihat berjibunnya calon mahasiswa yang mendaftar di Fakultas Teknik Sipil. Dia pun putar haluan. Saya pilih yang paling sedikit diincar mereka, yaitu jurusan Fakultas MIPA. Saya ganti jurusan ketika saya di meja pendaftaran terakhir alias last minute.

Aula Barat ITB – Foto diambil dari itb.ac.id

 “The only thing that we have control over is ourselves.”

Saya percaya, kemampuan beradaptasi sangat menentukan apakah kita akan berhasil dalam kehidupan atau tidak, juga dalam dunia profesi.

Dalam setiap perubahan, ada tiga tipe orang: Mereka yang menerima keadaaan, mereka yang menolak, dan mereka yang wait and see. Pada zaman saya kecil dan remaja, hanya tersedia opsi untuk menerima perubahan. Ini semua, untungnya, membuat saya menjadi sosok yang adaptif.  

Sikap menerima membuat kita jadi adaptif. Pada perjalanannya, kita toh memang harus menerima keadaan yang terbentang di hadapan. Kita mustahil menolak keadaan, kita juga tidak mungkin merubah masa lalu yang sudah menentukan keadaan saat ini, jadi dihidupi saja, living at the present moment. Kita pun tidak ada manfaatnya menyesali keputusan yang diambil kemarin. Jangan terlalu lama menyesali kegagalan maupun merayakan keberhasilan. Tidak ada putaran balik untuk kembali ke belakang, kita hanya bisa mempengaruhi masa depan.

Menurut saya, kemampuan adaptasi terkait dengan, pertama, seberapa cepat orang bisa menerima perubahan.  Kedua, bagaimana melihat sisi positif dari perubahan itu, atau kesempatan apa yang terlihat akbibat perubahan itu. Kalau bersikap negatif dengan perubahan, kita akan larut dalam penyesalan, menangisi keadaan, dan tak beranjak ke mana-mana. Seolah-olah kita punya pilihan lain. Sementara, mereka yang berpikiran positif  akan selalu coba mencari opportunity  di balik perubahan. Mengerti dan menerima konsekuensi dari pilihan yang sudah diambil. Kalau ngak, cepat-cepat keluar dari sistem itu. Dalam realitas kehidupan kita, sebenarnya lebih banyak kita berhadapan dengan hal-hal yang pada awalnya bukan pilihan kita. Sangat sedikit keadaan dan kondisi yang kita alami sesuai dengan yang kita inginkan atau mimpikan. Mungkin setelah kita menjalaninya, baru kita mengatakan ini adalah sesuai dengan mimpi saya, yaitu pada saat kita sudah mampu menerima dan menjalani hidup kita dengan bahagia (living at the present moment)

Lalu, bagaimana sikap adaptif  tak menjebak kita pada ketidakmampuan untuk memperbaiki keadaan? Bagaimana mempraktikkan sikap adaptif dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiwa dan dalam perjalanan karier? Semua akan kita bahas dalam post berikut. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *